Oleh: pak mayar | April 29, 2009

Hardiknas dan Raport Merah Dunia Pendidikan Kita

Pendidikan adalah masa depan bangsa. Tapi jika pendidikan gagal ia merancang keterpurukan. Peringatan Hardiknas 2009 ini kita patut merenungkan prestasi dunia pendidikan kita. Berikut ini catatan dunia pendidikan kita setahun terakhir. Apakah ini merupakan  raport merah ….terserah anda menyimpulkannya. Anda boleh setuju,  boleh tidak.

  1. BHP (Badan Hukum Pendidikan) Secara internal kebijakan ini dilatarbelakangi oleh manajemen pendidikan di perguruan tinggi negeri (PTN) yang terlalu birokratis. BHP dimaksudkan untuk membongkar belenggu birokrasi tersebut. Tetapi secara eksternal BHP muncul akibat tekanan Barat yang menuntut liberalisasi pendidikan Indonesia. BHP adalah payung hukum yang dibutuhkan bagi masuknya modal asing di sektor jasa pendidikan. Kebijakan BHP ditolak keras oleh hampir semua lembaga pendidikan swasta/yayasan pendidikan. BHP yang berlaku di tingkat satuan pendidikan tentulah memperumit manajemen pendidikan di lembaga pendidikan swasta. Ironis memang, kepentingan asing dilayani, kepentingan anak negeri sendiri diabaikan. Inilah mental inlander kita …tahu kan ini warisan jaman kolonial. Kepentingan asing dihormati …eh kepentingan bangsa sendiri diinjak-injak.
  2. SBI (Sekolah Berstandar Internasional) Tujuan SBI adalah mempersiapkan lulusannya agar mampu berkompetisi dalam persaingan global. Lantas bagaimana dengan SBN (Sekolah Berstandar Nasional), apakah lulusannya tidak mampu menembus persaingan global? Nah apa jawabnya coba. Susah kan ? Kalau dijawab lulusan SBN tidak mampu menembus persaingan global ….berarti yang nyusun kurikulum SBN itu orang goblok. Tetapi kalau dijawab lulusan SBN mampu menembus persaingan global …..ya lalu untuk apa dibuat SBI? Jadi SBI itu adalah kebijakan yang secara kopseptual salah. Pendidikan kita apapun namanya harus mampu membuat lulusannya sanggup berkompetisi dalam persaingan global. Karena persaingan global ini akan dihadapi siapa saja dimana saja. Di sini, di negeri sendiri, kita pun akan menghadapi persaingan global itu. Artinya semua anak bangsa harus kita siapkan untuk sanggup mengatasinya. Inilah keadilan. Pendidikan bermutu bagi semua orang adalah amanat UUD kita. SBI entah apa maunya.
  3. Sekolah Gratis. Ini kebijakan yang baik. Terutama untuk mencapai asas pemerataan dan keadilan. Semua anak harus sekolah. Tapi sesungguhnya di tingkat pendidikan dasar dan menengah tidak perlu dipukul rata semua golongan digratiskan. Partisipasi masyarakat khususnya dari keluarga menengah atas dapat memberikan kontribusi besar bagi kemajuan sekolah. Apalagi unit cost pendidikan dasar dan menengah relatif belumlah tinggi. Sekolah gratis idealnya diberlakukan terbatas kepada keluarga tidak mampu. Maka konsep beasiswa siswa tidak mampu sesungguhnya lebih tepat. Komersialisasi pendidikan yang terang-terangan memberatkan masyarakat sesungguhnya terjadi di perguruan tinggi. Maka akan menjadi kebijakan yang amat strategis seandainya pemerintah sanggup mewujudkan program kuliah gratis di perguruan tinggi negeri (PTN). Tidak seperti sekarang PTN ramai-ramai menjual diri bagi siapapun yang berani bayar mahal. Kadang sampai tidak peduli dengan mutu inputnya. Ini adalah kesia-siaan dan PTN itu sesungguhnya sedang menipu dirinya sendiri, sekaligus menipu masyarakat. Jadi tidak perlu sekolah gratis yang lebih penting kuliah gratis.
  4. Ujian Nasional (UN). Ujian nasional adalah sesuatu yang biasa. Ada dimana-mana. Namun dalam dunia pendidikan kita UN menjadi begitu mengharu biru sejak lima tahun belakangan ini. Ya sejak UN ditetapkan sebagai penentu kelulusan siswa. Betapapun bagusnya prestasi anak selama 3 tahun, namun jika hasil UN tidak memenuhi syarat kelulusan ia tidak lulus. Pernahkan juara olompiade di Jateng tidak lulus ujian. Dampak kebijakan ini luar biasa dan amat dalam. Pembelajaran menjadi dangkal karena melulu berbentuk drill soal. Tekanan besar yang dihadapi guru dan kepala sekolah.Tak jarang mereka justru yang mengambil inisiatif untuk merancang kecurangan dalam pelaksanaan UN. Integritas moral pendidik akhirnya menjadi korban. Belum lagi tekanan psikologis yang dihadapi anak. Sekolah menjadi dunia yang tidak menyenangkan, tidak membahagiakan. Apa yang akan kita harapkan dari proses pembelajaran yang tidak menyenangkan. Nol. Kita tidak akan mempelajari apa-apa dalam suasana pembelajaran yang tidak menyenangkan. Apalagi proses evaluasi dalam UN sangat tidak transparan. Anak yang sangat pandai tetapi mendapat nilai 3 (dan artinya tidak lulus) tidak pernah bisa mendapatkan jawaban kenapa ia dapat nilai 3. Soal mana saja yang salah ia kerjakan. Panitya kota hingga provinsi tidak pernah memberikan akses kepada siswa atau orang tua untuk mengungkap hal tersebut. Lembar jawaban dan kunci jawaban adalah rahasia negara. Jadi nilai 3 itu seumur hidup akan tetap jadi misteri bagi anak. Ngeri kan. Tidak ada akuntabilitas dalam proses evaluasi UN selama ini. Di sekolah hal ini dijunjung tinggi. Habis ulangan soal dan jawaban dibagi oleh guru, jawaban dibahas, dan anak diminta kembali mengoreksi jawabannya, kalau guru salah memberi nilai akan dikoreksi kembali. Transparan dan dapat dipercaya. Mengapa proses evaluasi dalam UN tidak dapat transparan ? Nah ini susah menjawabnya. Tapi bagi saya gampang saja. Kalau semua proses evaluasi UN itu benar adanya maka sesungguhnya tidak perlu takut untuk bersikap transparan. Gampang saja, kalau soal 40, siswa menjawab benar 12 nilanya sudah pasti 3. Tunjukkan lembar jawaban anak dan tunjukkan kunci jawabannya. Suruh ngitung sendiri. Selesai. Dan anak puas. Jika tidak mau bersikap transparan berarti ada yang ditutup-tutupi. Apa itu wah banyak kemungkinannya. Dulu yang pernah santer terdengar di tahun 2005 adalah konversi nilai. Apakah kini masih berlaku dan menjadi rahasia, barangkali saja. Siapa yang tahu? Selagi transparasi dan akuntabilitas UN tidak dapat diwujudkan segala sesuatu bisa saja terjadi. Kasihan sekali anak-anak bangsa ini nasibnya ditentukan oleh sesuatu yang tidak jelas. Seperti memasuki lorong waktu yang serba gelap. Tidak ada kepastian tidak ada yang bisa dijadikan pegangan.
  5. Olimpiade Sains Internasional. Kita patut acungi jempol bagi pak Yohanes Surya. Kerja kerasnya mampu membuat dunia pendidikan kita sedikit banggga. Anak-anak unggul negeri ini ternyata tidak kalah bersaing dengan negeri lain. Namun jangan lupa berbagai kemenangan di olimpiade sains internasional tersebut tidaklah menggambarkan kemajuan dunia pendidikan kita pada umumnya. Mereka ini anak-anak cerdas yang disiapkan secara spartan oleh para guru yang benar-benar menguasai bidangnya. Dan untuk itu mereka mendapatkan segala fasilitas apapun yang dibutuhkan. Nah jutaan anak-anak kita, dan ribuan sekolah kita tidaklah seberuntung itu. Guru yang sungguh menguasai bidangnya dan didukung fasilitas yang super lengkap masih menjadi impian di banyak sekolah kita.

Demikian catatan Hari Pendidikan Nasional dari saya. Semoga ini menjadi bahan renungan kita bersama. Demi kemajuan dunia pendidikan kita.

Apakah anda mau menambahkan daftarnya ?

Powered by Zoundry Raven

Flickr : , , , , , , , , , , , ,
Zooomr : , , , , , , , , , , , ,
Del.icio.us : , , , , , , , , , , , ,
Technorati : , , , , , , , , , , , ,


Tanggapan

  1. ada yang lepas dari pengamatan kita dalam dunia pendidikan, yaitu soal keterampilan. keterampilan biasanya tidak dianggap sebagai suatu kelebihan yang luar biasa, padahal keterampilanlah yang akan membuat kita semua survive.

    nilai matematika, kimia, ekonomi, dan lain-lain tidak akan cukup membantu ketika kita menghadapi dunia nyata. keterampilanlah yang akan lebih banyak berperan.


Tinggalkan komentar

Kategori